Sabtu, 24 Maret 2012

Khadijah binti Khuwailid Tokoh wanita Quraisy yang suci


Khadijah binti Khuwailid Tokoh wanita Quraisy yang suci

Dia adalah tokoh wanita sedunia pada masanya, putri Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab Al Quraisyiyah Al-Asadiyah. Khadijah dikenal dengan julukan ‘wanita suci’. Ia lahir dan tumbuh dari keluarga terhormat kira-kira lima belas tahun sebelum tahun gajah. Khadijah adalah seorang wanita yang berpikiran tajam, tinggi cita-cita, dan seorang yang berkepribadian luhur, sehingga banyak tokoh quraisy yang menaruh perhatian padanya.
Khadijah pernah dua kali menikah. Pertama dengan Abu Halah bin Zurarah At Tamimi yang menurunkan seorang putra bernama Halah dan seorang putri bernama Hindun. Setelah Abu Halah meninggal, Khadijah menikah lagi dengan Atiq bin A’idz bin Abdullah Al-Makhzumi. Pernikahan dengan suami kedua ini tidak berlangsung lama karena mereka akhirnya berpisah.
Selama menjadi seorang janda, banyak tokoh lelaki yang meminangnya, tapi semua pinangan itu ditolaknya dengan sopan, karena ia ingin berkonsentrasi mengasuh anak-anaknya dan mengurus usaha dagangnya, sebab Khadijah adalah saudagar yang kaya. Dia biasa memberi upah kepada kaum laki-laki yang mau meniagakan perdagangannya dengan cara bagi hasil.
Ketika sampai padanya berita tentang Muhammad –sebelum diangkat menjadi nabi- yang mempunyai sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, ia pun mempercayakan kepadanya untuk meniagakan barang dagangannya ke negeri Syam bersama pelayannya, Maisarah. Imbalan yang diberikan kepada Muhammad lebih banyak daripada imbalan yang biasa diberikan kepada orang lain.
Setelah terjadi kesepakatan, berangkatlah Muhammad bersama Maisarah ke negeri Syam. Dengan bimbingan Allah, Muhammad berhasil mendapatkan laba yang besar dan membuat Khadijah sangat gembira. Akan tetapi, sebenarnya kekaguman akan kepribadian Muhammad jauh lebih besar daripada sekadar kegembiraan karena Muhammad pulang dengan membawa laba yang banyak. Sejak saat itu dalam hati Khadijah mulai timbul perasaan simpati yang mendalam terhadap Muhammad, karena Muhammad tidak seperti laki-laki yang kebanyakan. Namun demikian, ia ragu apakah pemuda jujur dan terpercaya itu tertarik dan mau menikah dengan dirinya yang telah berumur empat puluh tahun atau tidak. Bagaimana pula dia harus bersikap dalam menghadapi kaumnya karena sebelumnya dia pernah menolak pinangan tokoh Quraisy.
Pada saat kebingungan bergejolak dalam hati Khadijah datanglah sahabatnya Nafisah binti Munabbih. Khadijah pun mengungkapkan gejolak perasaannya kepada sahabatnya itu. Dengan kecerdasannya, Nafisah mampu menangkap arah pembicaraan Khadijah. Nafisah pun menghibur dan menenangkan Khadijah seraya mengingatkan bahwa ia adalah wanita yang memiliki segalanya. Ia terhormat, berketurunan bangsawan, kaya, dan cantik. Nafisah menguatkan pendapatnya dengan kenyataan bahwa banyak laki-laki bangsawan yang meminangnya.
Setelah itu Nafisah pergi menemui muhammad untuk menanyakan langsung perihal perasaan Khadijah kepadanya. Nafisah bertanya kepada Muhammad: “Wahai Muhammad, apa yang menghalangimu untuk menikah?” Muhammad menjawab, “Aku tidak mempunyai apa-apa untuk menikah.” Nafisah tersenyum lalu berkata, “Seandainya ada yang mau mencukupimu dan engkau diminta untuk menikahi seorang wanita yang kaya, cantik, dan terhormat, apakah kamu mau?” beliau kembali bertanya, “Tetapi siapakah dia?” Nafisah segera menjawab, “Khadijah binti Khuwailid.” Muhammad pun menjawab, “Jika ia setuju, aku akan menerimanya.”
Nafisah segera menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut. Sementara itu Muhammad juga memberitahukan kepada paman-pamannya tentang keinginannya untuk menikah dengan Sayyidah Khadijah. Selanjutnya Abu Thalib, Hamzah, dan paman nabi yang lain pergi bersama menemui Khadijah, Amr bin Asad, untuk meminang putri saudara Amr itu bagim Muhammad dan menyerahkan maharnya.
Ketika akad berlangsung, Khadijah menyembelih beberapa ekor ternak untuk dibagikan kepada fakir miskin. Ia juga mempersilakan dan mengundang kerabat dan handai taulannya datang ke rumahnya. Di antara mereka yang hadir itu ada Halimah As-Sa’diyah. Ia datang untuk menyaksikan pernikahan anak susuannya itu. Setelah selesai Halimah pun membawa empat puluh ekor kambing sebagai hadiah dari Khadijah kepada wanita yang pernah menyusui Muhammad, suaminya tercinta.
Sejak saat itu, tokoh wanita Quraisy yang suci itu resmi menjadi teladan paling agung dan paling mengagumkan sebagai seorang istri yang mencintai suaminya. Khadijah rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi orang yang dicintainya. Di antara pengorbanannya terlihat ketika Khadijah melihat suaminya senang dengan budak miliknya Zaid bin Haritsah, ia pun memberikannya kepada Muhammad. Ketika suaminya berhasrat mengajak salah seorang anak pamannya, Ali bin Abu Thalib tinggal di rumahnya, ia pun dengan lapang dada menyetujuinya. Bahkan dia memberikan keleluasaan kepada Ali di rumahnya agar bisa meneladani akhlak suaminya.
Allah memberikan kepada rumah tangga bahagia ini berbagai nikmat. Mereka dikaruniai beberapa orang anak laki-laki dan perempuan yaitu Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum, dan Fathimah. 1
Allah juga mengaruniakan Muhammad sifat gemar berkhalwat sehingga tidak ada aktivitas yang lebih disenanginya selain berkhalwat sendirian. Beliau beribadah di gua Hira selama sebulan penuh setiap tahunnya. Beliau bermalam di sana sampai beberapa hari, padahal bekal yang dibawanya hanya sedikit. Apa yang beliau lakukan ini berbeda jauh dengan apa yang dilakukan penduduk Makkah pada umumnya yang terlena dalam perbuatan dosa, kesia-siaan, penyembahan berhala, dan lain-lain.
Walaupun aktivitas khalwat yang dilakukan Muhammad terkadang harus menjauh dari istrinya, sebagai istri, Khadijah tidaklah bersempit dada dalam menyikapinya. Ia pun tidak mengeruhkan kejernihan pikiran suaminya dan memberikan ketenangan selama suaminya berada di rumah. Ketika suaminya sudah berangkat ke gua, kedua mata Khadijah dari jauh selalu terbayang akan keberadaan suaminya. Bahkan kadang-kadang ia mengirim seseorang untuk menjaga dan mengawasinya tanpa bermaksud mengganggu khalwatnya.2
Kebiasaan berkhalwat di gua Hira ini terus dilakukan Muhammad sesuai kehendak Allah kepadanya, sampai suatu ketika pada bulan Ramadhan, Jibril datang membawa wahyu dari Allah.3 Sepeninggal Jibril, beliau pulang pada kegelapan fajar dalam keadaan takut, pucat, dan menggigil. Sesampainya di rumah, beliau langsung berkata kepada istrinya, “Selimuti aku! Selimuti aku!.”
Setelah Khadijah menanyakan hal apa yang sebenarnya telah terjadi pada diri beliau, beliau berkata, “Wahai Khadijah, sesungguhnya aku mengkhawatirkan diriku.” Dengan penuh percaya diri dan yakin, sang istri tercinta yang berpikiran cerdas itu menjawab, “Allah tentu akan menjaga kita, wahai Abu Qasim. Bergembiralah, wahai anak paman, dan teguhkanlah hatimu! Demi Dzat yang jiwa Khadijah berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku berharap engkaulah yang akan menjadi nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau selalu menyambung silaturahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, menghormati tamu, dan selalu membantu meringankan musibah orang lain di jalan yang benar.4 Ketulusan tutur kata Khadijah itu membuat hati Nabi tenang dan tenteram karena istrinya mempercayai apa yang terjadi pada dirinya.
Sikap sang istri yang berpikiran cerdas dan amat bijaksana itu tidaklah berhenti hanya sampai disitu. Khadijah segera mendatangi anak pamannya, Waraqah bin Naufal dan menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar cerita tersebut, Waraqah langsung berseru, “Quddus, Quddus!” (Mahasuci, Mahasuci!) “Demi Dzat yang jiwa Waraqah berada dalam kekuasaan-Nya, jika engkau mempercayaiku, wahai Khadijah, sesungguhnya telah datang wahyuyang Mahabesar, sebagaimana pernah datang pada nabi Musa dan Isa alaihimussalam. Sesungguhnya Muhammad akan menjadi nabi bagi umat ini. Katakanlah kepadanyasupaya ia tetap tegar.”5 Khadijah segera kembali ke rumahnya untuk menyampaikan kabar gembira tersebut kepada suaminya. Setelah itu Khadijah mengajak nabi untuk menemui Waraqah dengan maksud agar beliau mendengar langsung dari Waraqah tentang peristiwa yang dialaminya di gua Hira. Sesampainya nabi bersama Khadijah di rumah Waraqah bin Naufal, beliau kembali menceritakan peristiwa yang dialaminya. Waraqah pun berseru, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sungguh engkau menjadi nabi umat ini dan engkau pun akan didustakan, disakiti, diusir, dan diperangi. Seandainya aku masih hidup pada saatnya nanti, niscaya aku akan menolongmu sekuat tenagaku.” Waraqah pun mendekati nabi dan mencium ubun-ubunnya.
Setelah mendengar perkataan Waraqah yang demikian itu, beliau bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya, karena tidak seorang pun yang datang membawa risalah seperti yang engkau bawa ini, melainkan ia akan dimusuhi. Alangkah baiknya kalau aku menjadi muda lagi dan alangkah baiknya kalau pada saatnya nanti aku masih hidup.” Namun tak lama kemudian Waraqah wafat.6
Keterangan Waraqah tersebut telah membuat hati nabi merasa tenang, sebab beliau sudah mengetahui bahwa sejak awal dakwahnya nanti, beliau akan menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, dan itulah sunnatullah yang pasti berlaku bagi semua nabi dan para penyeru kepada jalan Allah. Dengan demikian, setiap penghinaan dan ejekan yang dilontarkan orang musyrik, beliau hadapi dengan sabar dan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah Taala.
Khadijah adalah wanita pertama yang masuk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu alahi wasallam.7 Istri mukminah yang besar cintanya ini pun tampil memberikan segenap bantuan dan pertolongan pada Nabi Shallallahu alahi wasallam sang suami tercinta. Dengan setia dia menolong suaminya dalam menanggung beban yang amat berat akibat ejekan dan penghinaan yang begitu kejam, sehingga berkat bantuannya, Allah pun menjadikan semua ini terasa ringan bagi nabi. Tidak ada kesedihan dan kegundahan yang beliau sampaikan, melainkan Allah menjadikan semua itu terasa ringan oleh nabi berkat kepiawaian Khadijah, karena setiap kali nabi pulang menemui Khadijah, Khadijah selalu memotivasi dan menguatkan hati nabi, dan mengatakan kepada nabi bahwa semua rintangan yang datang dari orang kafir itu ringan.
Suatu ketika tatkala nabi dalam keadaan berselimut, turunlah wahyu Allah kepada beliau melalui malaikat Jibril,
1. Hai orang yang berkemul (berselimut),
2. Bangunlah, lalu berilah peringatan!
3. Dan Tuhanmu agungkanlah!
4. Dan pakaianmu bersihkanlah,
5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
6. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
7. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
(Alquran, Surat Al Mudatsir : 1-7)
Sejak ayat ini diturunkan, berarti beliau telah memulai sebuah fase kehidupan baru yang penuh dengan berkah sekaligus penuh dengan berbagai kesukaran and rintangan yang sudah siap menghadang. Beliau juga memberitahukan kepada Khadijah bahwa waktu tidur an istirahat sudah habis dan sekarang waktunya untuk menyampaikan risalah Allah apapun yang terjadi.
Khadijah turut membantu dakwah Rasulullah untuk mengajak kaumnya masuk Islam, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Islamnya bekas budaknya, Zaid dan empat anak perempuannya sendiri merupakan hasil pertama dakwah Khadijah.
Sejak saat itu kaum muslim mulai menghadapi berbagai bentuk gangguan. Khadijah tampil bagaikan gunung yang berdiri tegar. Hal ini karena ia memahami betul firman Allah,
1. Alif laam miim[1144]
2. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
(Alquran, Surat Al Ankabut: 1-2)
Di antara ujian Allah yang menimpanya adalah kematian dua anak laki-lakinya yang masih kecil, yaitu Qasim dan Abdullah. Akan tetapi, ia tetap sabar dan ikhlas menerimanya. Khadijah juga menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri matinya seorang syahidah pertama dalam Islam (Sumayyah). Sumayyah harus meregang nyawa di tangan para thagut karena mempertahankan imannya hingga menghembuskan nafas terakhir sebagai wanita yang mulia dan terhormat.
Khadijah juga harus rela meninggalakan dan berpisah dengan putri dan belahan hatinya, Ruqayyah, istri Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu, karena harus berhijrah ke negeri Habsyi untuk menyelamatkan agamanya dari gangguan kaum musyrik.
Khadijah telah melihat dan mengalami masa-masa sulit yang penuh dengan teror dan penyiksaan. Namun demikian hati wanita mujahidah ini sama sekali tak pernah kenal putus asa. Setiap langkahnya selalu merefleksikan firman Allah,
*
186. Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan.
(Alquran, Ali Imran : 186)
Sebelum terjadinya semua rentetan cobaan dan ujian itu, Khadijah juga telah menyaksikan sikap suaminya yang selalu sabar dan ikhlas dalam menghadapi berbagai cobaan yang ditemuinya di jalan dakwah. Bahkan dengan berbagai cobaan yang ditemuinya itu, nabi malah makin bertambah kesabaran dan keteguhannya. Beliau menolak semua harta keduniawian yang menggiurkan tetapi rendah nilainya, yang ditawarkan kepada beliau dengan syarat ditukar akidah. Beliau tetap tegar dan tidak bergeser sedikit pun dari ketetapannya untuk terus menyampaikan kebenaran. Bahkan beliau menanggapi bujuk rayu kaumnya yang disampaikan melalui pamannya, Abu Thalib, dengan perkataan, “Demi Allah, wahai paman, sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (menyeru kepada agama Allah), sekali-kali aku tidak akan meninggalkan sampai Allah memenangkan agama ini atau aku harus binasa karenanya.8
Demikianlah Khadijah selalu mencontoh suaminya, sang teladan paling agung dan figur yang amat teguh dalam mempertahankan keimanan. Karenanya, ketika kaum Quraisy mengumumkan pemboikotan terhadap kaum muslim secara politik, ekonomi, dan sosial, yang mana dokumen pemboikotan tersebut digantungkan di dalam Ka’bah,9 tanpa bimbang Khadijah bergabung bersama kaum muslim di kubu Abu Thalib, walaupun harus menjauh dari kabilahnya yang ia cintai. Dengan penuh kesabaran, ia menjalani masa boikot yang menyusahkan itu selama tiga tahun bersama nabi dan para sahabat yang lain, hingga akhirnya dokumen pemboikotan itu hancur dimakan rayap atas pertolongan Allah berkat adanya keimanan yang tulus dan keteguhan yang tidak mengenal lelah. Bahkan dalam masa boikot ini, Khadijah mengeluarkan segala yang dimilikinya untuk meringankan beban yang menimpa kaum muslim, padahal saat itu dia sudah berusia 65 tahun.
Setelah enam bulan dari berakhirnya masa pemboikotan ini, wafatlah paman nabi, Abu Thalib. Tidak berapa lama kemudian mujahidah yang ikhlas ini pun meninggal. Kedua musibah ini terjadi tiga tahun sebelum hijrah.10 Begitu besar cobaan bertubi-tubi yang dialami nabi. Dalam waktu hampir bersamaan, beliau harus kehilangan tulang punggung dakwah islamiyah.11
Demikianlah, jiwa yang tenang ini wafat setelah menjalankan tugasnya sebagai teladan dalam mendakwahkan agama Allah dan berjihad di jalan-Nya. Ia adalah seorang istri yang amat bijaksana yang pandai mengatur segala urusan dan begitu besar pengorbanannya di jalan dakwah, dan semuanya ia berikan guna mengharap ridha Allah dan kerelaan Rasul-Nya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau ia mendapat salam dari Allah dan mendapat kabar gembira bahwa untuknya akan dibuatkan sebuah istana di surga yang terbuat dari mutiara, yang penuh dengan ketentraman dan kenyamanan di dalamnya.12 Karena itu pula Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik wanita surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ya Allah, ridhailah Khadijah binti Khuwailid, seorang tokoh wanita yang suci, seorang istri yang amat setia dan tulus, dan seorang mukminah yang telah berjuang membela agamanya dengan segala harta yang dimilikinya. Semoga Allah memberikan kepadanya sebaik-baik balasan (surga) atas apa yang telah dipersembahkannya untuk Islam dan kaum muslimin.
1 Baca As-Sirah Ibnu Hisyam, juz 1 hal 202 dst.
2 As-Sirah, juz 1 hal 249 dst.
3 As-Sirah, juz 1 hal 250
4 Baca As-Sirah, juz 1 hal 253; Tarikhut Thabari juz 2 hal 205, dan Al Ishabah juz 8 hal 200.
5 Baca As-Sirah, juz 1 hal 254 dan Tarikhut Thabari juz 2 hal 206. Hadits yang menceritakan peristiwa ini terdapat dalam Shahih Bukhari, pada awal pembahasan tentang wahyu, juz 1 hal 3 dan Shahih Muslim, dalam Kitab Iman, bab Mula-mula wahyu diturunkan, juz 1 hal 139. keduanya bersumber dari Aisyah radhiyallahu anha.
6 Ibid.
7 As-Sirah, juz 1 hal 257
8 As-Sirah, juz 1 hal 385
9 As-Sirah, juz 1 hal 385; Tarikhut Thabari juz 2 hal 228
10 Al Ishabah juz 8 hal 62 dan Siyar A’lamin Nubala, juz 2 hal 117
11 As-Sirah, juz 2 hal 57; Tarikhut Thabari juz 2 hal 229
12 Baca hadits selengkapnya tentang hal ini dalam Shahih Al Bukhari, Kitab Keutamaan para sahabat, bab Pernikahan nabi dengan Khadijah dan keutamaannya, dan Shahih Muslim, Kitab Keutamaan para sahabat, bab Keutamaan Khadijah, Ummul Mukminin Radhiyallahu anha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar