Sabtu, 24 Maret 2012

Hafshah binti Umar Pemelihara Alquran

Dia adalah putri Umar bin Khaththab, seorang sahabat agung yang dengannya Allah telah memuliakan Islam. Pertama kali ia menikah dengan Khunais bin Hudzafah bin Qais As-Sahmi Al-Quraisyi, seorang sahabat yang turut dua kali hijrah (ke Habsyi dan ke Madinah), sahabat yang turut serta dalam perang Badar dan Uhud. Khunais wafat di Madinah karena luka yang menimpanya saat perang Uhud, sehingga Hafshah menjadi janda pada usia relatif muda, yaitu 18 tahun.

Umar yang sedih karena anaknya sudah menjadi janda pada usia yang sangat muda. Umar merasa tertekan setiap kali masuk rumah dan mendapati putrinya sedang terlarut dalam kesedihan yang menimpanya. Setelah melalui proses pemikiran yang panjang, akhirnya terbersit niat dalam diri Umar untuk mencarikan suami yang bisa menyenangkan hati putrinya, dengan harapan putrinya bisa meraih kembali ketenangan dan ketentraman bersama suami yang hilang darinya selama 6 bulan atau lebih.
Pilihan Umar akhirnya jatuh pada Abu Bakar, seorang laki-laki kesayangan Rasulullah. Umar berharap, dengan kemurahan dan kelapangan hati Abu Bakar, ia mau menanggung tabiat Hafshah yang pencemburu dan keras, suatu sifat yang diwarisi dari ayahnya.
Selanjutnya, segeralah Umar menemui Abu Bakar untuk membicarakan soal cobaan hidup menjanda yang dialami Hafshah. Abu Bakar dengan simpati menyimak semua penuturan Umar. Hal ini menimbulkan harapan bagi Umar bahwa Abu Bakar tidak akan ragu-ragu menerima putri seorang laki-laki yang dengannya Allah memuliakan Islam ini. Akan tetapi ketika Umar menyatakan keinginannya agar Abu Bakar berkenan menikahi putrinya, Hafshah, Abu Bakar hanya diam dan tidak menjawab sepatah kata pun.
Umar lalu keluar dengan hati sedih seolah tidak percaya dengan apa yang telah dialaminya. Selanjutnya Umar melangkahkan kakinya ke rumah Utsman bin Affan, yang saat itu baru saja ditinggal mati oleh istrinya Ruqayyah, putri Rasulullah. Ruqayyah meninggal karena penyakit campak. Sesampainya di sana, Umar mengadakan pembicaraan dengan Utsman dan menawarkan kepadanya untuk menikahi Hafshah. Akan tetapi, Utsman menjawab, “Nampaknya saat ini, aku belum ingin menikah lagi.”
Bertambahlah rasa sedih Umar dengan penolakan kedua sahabatnya itu. Saking kecewanya akibat penolakan tersebut, Umar pergi menemui Nabi untuk mengeluhkan sikap kedua sahabatnya itu.
Mendengar pengaduan Umar, beliau tersenyum seraya bersabda, “Hafshah akan dinikahi oleh seseorang yang lebih baik daripada Utsman, dan Utsman akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Seketika itu juga berserilah wajah Umar karena mendapatkan kehormatanyang besar yang belum pernah terbayangkan sebelumnya dan hilang pula kesedihannya. Segera ia pergi untuk menyampaikan kabar gembira itu kepada semua orang yang dicintainya. Orang pertama yang ia temui adalah Abu Bakar. Begitu melihat Umar yang berseri-seri Abu Bakar langsung mengulurkan tangannya untuk mengucapkan selamat seraya meminta maaf. Abu Bakar berkata, “Janganlah engkau masukkan ke dalam hatimu atas sikapku saat itu, wahai Umar, karena sungguh sebelum itu Rasulullah telah menyinggung-nyinggung masalah Hafshah, namun aku tidak mungkin membocorkan rahasia beliau. Seandainya Rasulullah batal menikahi Hafshah, akulah yang akan menikahinya.”
Pada bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriah, berlangsunglah pernikahan Rasulullah dengan Hafshah binti Umar, sedangkan pernikahan Utsman dengan Ummu Kultsum berlangsung pada bulan Jumadil Akhir pada tahun ketiga Hijriyah juga.
Dengan demikian bergabunglah Hafshah bersma istri Nabi yang ada saat itu, Ummahatul mukminin yang suci (Aisyah dan Saudah). Hafshah menempati kamar yang berdekatan dengan kamar Aisyah, karena dia tahu bahwa Aisyahlah di antara istri Nabi yang lebih berhak untuk dia dekati dan lebih pantas untuk dia perlakukan sebaik mungkin. Hafshah berusaha menepati nasihat ayahnya yang pernah mengatakan, “Apalah kedudukanku dibandingkan Aisyah dan apalah kedudukan ayahmu dibandingkan ayahnya.”
Hafshah dan Aisyahlah yang pernah saling mambantu untuk menyakiti hati Nabi (dengan membocorkan rahasia beliau), sehingga Allah menurunkan ayat,
QS. At-Tahrim
4. Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka Sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa setelah kejadian itu Rasulullah menceraikan Hafshah dengan talak satu, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali atas perintah yang dibawa Jibril yang mengatakan kepada beliau bahwa, “Hafshah adalah wanita yang berpendirian teguh dan termasuk istri engkau di surga.”
Ketika Rasulullah wafat dan kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar, Hafshahlah yang dipercaya untuk menyimpan dan memelihara mushaf Alquran. Hafshah mengisi hidupnya dengan ibadah, ketaatan, dan keteguhan pendirian. Dialah satu-satunya wanita yang diberi kehormatan untuk menyimpan mushaf Alquran, kitab yang berisi undang-undang bagi umat manusia, mukjizat yang kekal, dan satu-satunya sumber syariat dan akidah yang benar.
Ketika ayahnya Umar bin Khaththab, merasa ajalnya sudah dekat akibat ditikam oleh seorang Majusi bernama Abu Lu’lu’ah pada bulan Dzulhijjah tahun 23 Hijriyah, Hafhshahlah yang diserahi tugas untuk mengurus harta peninggalan Umar.
Hafshah wafat pada masa Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia berwasiat kepada saudaranya, Abdullah bin Umar, sebagaimana wasiat yang pernah disampaikan ayahnya kepadanya. Semoga Allah meridhai pemelihara Alquran, wanita yang disebut Jibril sebagai wanita yang berpendirian teguh dan istri Nabi di surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar